SIMALUNGUN | Senin, 19 Mei 2025, Sidang lanjutan perkara dugaan penggelapan dengan terdakwa “HS” kembali digelar di Pengadilan Negeri Simalungun dengan agenda pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Akan tetapi Agenda sidang saksi dari JPU tidak bisa dihadirkan sehingga sidang ditunda.
Tidak di hadirkan Saksi oleh JPU, menimbulkan pertanyaan serius, mengingat saksi yang seharusnya dihadirkan adalah sosok kunci, yaitu pembeli besi tua yang dituduhkan sebagai hasil dari tindak pidana penggelapan.
Tutik Rahayu. SH selaku Kuasa Hukum menilai ketidak hadiran Saksi Kunci menimbulkan beberapa pertanyaan dan dugaan adanya upaya Kriminalisasi Hukum yang terjadi, ada apa dengan JPU …?
“Mengingat saksi yang seharusnya dihadirkan sangat menentukan terhadap perkara yang sedang berproses atas klien kami,” Ungkapnya.
Fakta Terungkap, Perkara ini berawal dari sengketa waris keluarga yang berlangsung selama 32 tahun, dan telah berhasil didamaikan oleh klien kami selaku kuasa hukum dari Ibu Marwati, salah satu ahli waris.
Dan Kami menduga bentuk pelaporan pidana ini adalah upaya pelapor untuk Menghilangkan hak klien kami atas hasil jasa dan pekerjaannya sebagai kuasa hukum dalam menyelesaikan sengketa waris, dan Menghindari kewajiban moral dan hukum terhadap kompensasi atau imbalan yang layak bagi klien kami,” terang Tutu Rahayu. SH
Sebagai Kuasa Hukum Atas Kliennya “HS”. Tuty Rahayu Mengungakapkan Beberapa Fakta-fakta Kejanggalan dalam proses hukum yang Terjadi.
Bahwa saksi yang seharusnya didengarkan di persidangan adalah saksi kunci yang membeli besi tua yang diduga membeli dari hasil tindak pidana yang dituduhkan klien kami,
Bahwa selama perkara berproses mulai di polres Simalungun sampai di dilimpahkan di kejaksaan Simalungun saksi yang membeli tidak pernah di ikut sertakan sebagai penadah atau Saksi pembeli besi tua tidak pernah ditetapkan sebagai tersangka maupun penadah, padahal ia adalah pihak yang melakukan transaksi atas objek yang dipersoalkan.
Bahwa, Tidak ada satu batang pun besi tua yang dijadikan barang bukti oleh penyidik, dan objek tersebut tidak pernah dipasang garis polisi (police line), menimbulkan pertanyaan serius soal legalitas dan keabsahan alat bukti yang digunakan.
Pelapor Mariana, yang menguasai aset dan usaha keluarga, melaporkan klien kami atas dugaan penggelapan besi tua. Namun, tindakan yang dilakukan oleh klien kami berdasarkan Surat Kuasa yang sah di hadapan Notaris, yang memberi wewenang untuk mengurus dan menjual aset tersebut.
Dalam fakta persidangan, telah terungkap bahwa pelapor dan saksi lainnya mengetahui dan menyetujui penjualan besi tua tersebut, dan hasilnya telah digunakan untuk merenovasi ruko milik pelapor, sebagaimana tertuang dalam Surat Kuasa.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, kami menilai perkara ini dipaksakan dan sarat kepentingan, serta patut diduga mengandung unsur kriminalisasi terhadap klien kami.
Selaku Kuasa Hukum, Tuty Rahayu berharap agar Penuntutan dalam perkara ini tetap objektif, berdasarkan fakta hukum dan bukti yang sah, bukan karena tekanan, pengaruh, atau pesanan pihak tertentu.
Pengadilan dan Jaksa Penuntut Umum bersikap independen, menjunjung tinggi asas due process of law dan equality before the law.
Putusan nantinya berdasarkan fakta persidangan, bukan pada tekanan eksternal, agar tidak menciderai rasa keadilan.
Dengan Berlandaskan Dasar Hukum :
Pasal 1 ayat (1) KUHAP: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau diadili, serta dalam proses hukum lainnya wajib diperlakukan menurut hukum yang berlaku.
Pasal 183 KUHAP: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015: Surat Kuasa yang sah yang dilakukan oleh kuasa hukum dalam lingkup kewenangannya tidak dapat dijerat sebagai tindak pidana, kecuali terdapat penyimpangan hukum yang nyata.
Asas Ultimum Remedium Hukum pidana seharusnya dijadikan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan sengketa yang lebih tepat ditempuh melalui jalur keperdataan. Bahwa Hukum ini harus tegak lurus tanpa adanya pasal titipan atau pesanan sehingga terkesan KASUS KRIMINALISASI,” Pungkas Tuty Rahayu, SH. (Red)